Surat Terbuka untuk Kejaksaan Agung: Hukum Jangan Tumpul ke Atas, Tajam ke Bawah

waktu baca 3 menit
Rabu, 5 Nov 2025 22:45 0 483 Redaksi

 

Penulis : Aktivis Pemerhati Anak
Moh. Taufiq A. Intam

Buol , Tinombala.Com// Kejaksaan Negeri KEJARI Kabupaten Buol , Sulawesi Tengah Diduga Kurang Maksimal dalam Menyelesaikan Kasus Hukum, Berikut Isi Surat Terbuka untuk Jaksa Agung RI

Kepada Yth. Bapak Jaksa Agung Republik Indonesia di Jakarta

Dengan hormat,

Rakyat memperhatikan, Kejaksaan Republik Indonesia tampak tenang bahkan terkesan terlalu tenang di tengah hiruk pikuk kasus hukum yang menumpuk dan belum tuntas. Tenang bukan karena semuanya telah selesai, tetapi karena sebagian kasus dipilih untuk diam. Kasus kecil milik rakyat biasa selesai secepat kilat, sementara kasus besar menyangkut nama kuat, dipetieskan dalam sunyi. Keadilan kini seperti timbangan miring: berat ke bawah, ringan ke atas.

Bapak Jaksa Agung yang saya hormati

Hari ini disalah satu daerah kecil di bagian tengah Indonesia yakni Kabupaten Buol Provinsi Sulawesi Tengah, Eksekusi perkara tindak pidana perkebunan atas nama terpidana Mada Yunus di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah, telah menuai sorotan karena pelaksanaannya yang dinilai tidak humanis. Eksekusi tersebut dilakukan di hadapan anak di bawah umur, sehingga berpotensi menimbulkan dampak psikologis yang serius bagi mereka. Berikut beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait eksekusi ini:

Eksekusi dilakukan berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Buol Nomor: 16/Pid.Sus/2025/PN Bul Jo Putusan Pengadilan Tinggi Palu Nomor: 177/Pid.Sus/2025/PT PAL tanggal 10 September 2025, yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht).

Namun Pelaksanaan eksekusi di hadapan anak di bawah umur dapat menyebabkan trauma dan dampak psikologis jangka panjang pada anak.

Penanganan kasus yang melibatkan anak harus memperhatikan prinsip perlindungan anak dan kepentingan terbaik bagi anak.

Dalam konteks ini, perlu dilakukan evaluasi terhadap prosedur eksekusi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum untuk memastikan bahwa hak-hak anak tetap terlindungi dan proses hukum berjalan dengan humanis.

Sementara ditempat lain penegakkan hukum seolah tersendat bila menyentuh nama besar sebagaimana kasus Silvester Matutina, yang menjadi terdakwa atas perkara pencemaran nama baik terhadap Jusuf Kalla mantan Wakil Presiden RI yang oleh Pengadilan tingkat pertama telah di vonis 1 tahun penjara pada 30 Juli 2018 dan diperberat lagi berdasarkan Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI menjadi 1 tahun 6 bulan penjara pada 16 September 2019 namun hingga kini belum juga dieksekusi padahal telah inkracht sejak tahun 2019.

Apakah hukum kini harus menunggu restu kekuasaan untuk ditegakkan
Atau apakah hukum harus menunggu aba-aba politik untuk bekerja?

Kami, rakyat kecil yang masih percaya pada nilai keadilan, ingin mengingatkan: Hukum tidak boleh “tenang” ketika keadilan terancam.

Ketenangan yang disertai pembiaran adalah pengkhianatan terhadap sumpah jabatan.

Bagaimana rakyat bisa percaya pada janji reformasi hukum yang selama ini digaungkan jika aparat penegak hukum tidak mampu menegakkan hukum secara berani dan transparan.

Bapak Jaksa Agung yang saya hormati

Mengapa perlakuan hukum kepada Mada Yunus dan Silverter Matutina berbeda?

Apakah karna Silvester Matutina berada dalam lingkaran kekuasaan sementara Mada Yunus hanyalah seorang petani kecil yang tidak memiliki akses dengan kepentingan kekuasaan? Apakah hanya itu?

Mada Yunus hanya membela hak-haknya sebagai warga negara, ia sedang berjuang untuk keluarganya, sedang berjuang untuk tanah yang digarapnya. Ia dan petani panggarap lainnya hanya sedang melawan ketimpangan sebagai akibat dari ekspansi lahan milik oligarki.

Apakah memang hukum sebegitu beringasnya untuk rakyat kecil?

Pak Jaksa Agung yang saya hormati

Kami tidak sedang menuntut sesuatu yang berlebihan.
Kami hanya menuntut agar hukum bekerja sebagaimana mestinya. Adil, transparan, dan berani serta tak pandang bulu.

Kami hanya ingin agar hukum tak menjadi alat kekuasan, tak menjadi alat kepentingan modal. Dan hanya ingin dipandang setara dalam hukum.

Hukum yang adil tidak mengenal siapa di depan atau di atas, karena keadilan bukan milik penguasa bukan pula milik pemodal tetapi keadilan merupakan hak mendasar rakyat.

Karena di mata rakyat, diamnya hukum berarti matinya keadilan. Hormat Kami Aktivis Pemerhati Anak

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *